19 September, 2008
Belajar dari Negeri Jepang
Dari File : Ilmu Manajemen
Dari segi pemerintahan, sebelum terjadi perang negara Jepang telah memiliki partai-partai politik yang mencerminkan kepemimpinan demokratis yang dianutnya. Tapi ciri-ciri dan sifat-sifat kepemimpinan politik Jepang sesudah perang sangat sulit untuk dinilai. Tradisi maupun praktek kehidupan Jepang sedikit sekali menekankan pada “pemimpin-pemimpin” secara individual dan “kepemimpinan” dibanding dengan kultur Barat. Kecenderungan ini diperkuat oleh sifat multi-faksi dari kepemimpinan partai politiknya, dan besarnya peranan komite dan teknik-teknik, konsensus lainnya dalam pembuatan keputusan.
Suatu penelitian tentang penunjukan dari pembentukan kabinet-kabinet konservatif akhir-akhir ini akan menunjukkan pengaruh perang, kekalahan perang, dan pendudukan Amerika terhadap sifat kepemimpinan politik Jepang sesudah Perang Dunia II. Tokoh-tokoh militer dan wakil-wakil dari lingkungan istana dan aristokrat yang begitu kuat berpengaruh dalam kabinet sebelum perang sekarang tidak muncul lagi. Di antara kelompok elite sebelum perang, hanya politisi partai, birokrat, dan wakil-wakil dunia usaha yang masih tetap memegang posisi. Beban kekalahan perang, pembersihan yang didorong oleh Amerika atas unsur-unsur militer dan ultra-nasionalis dari jabatan-jabatan pemerintahan, dan diberlakukannya Konstitusi baru secara serempak telah menyingkirkan pemimpin-pemimpin tradisional dari jabatannya; akibat kekosongan kepemimpinan itu muncullah muka-muka baru di kalangan puncak partai-partai konservatif, yang sebagian besar masih tetap berada di tempatnya sampai sekarang. ( Sumber buku Perbandingan Pemerintahan Karya Dede Mariana )
Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara atau organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang ditulis oleh Ahmad Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, “RAHASIA BISNIS ORANG JEPANG (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)” diceritakan setelah bom atom Amerika menghunjam Hiroshima dan Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945, semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang bersaing ketat di belakang Amerika Serikat. Apalagi di bidang perteknologian, Jepang menjelma menjadi raksasa di atas negara-negara besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala kekurangan secara fisik, tidak fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga kerja, dan selalu terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi mereka menjadi bangsa yang dihormati dunia.
Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang patut diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Tapi siapa yang menyangka bahwa setelah mengalami kehancuran yang dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan kekuatan yang sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan mampu menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Hal ini dibuktikan pada pertengahan era 1990-an, Product National Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar atau 337,5 triliun rupiah, yang sekaligus menempatkan Jepang pada posisi ke-2 setelah Swiss yang memiliki PNB tertinggi di dunia. Selain itu Jepang merupakan negara yang tidak memiliki utang luar negeri. Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak kekurangan antara lain dari segi fisik orang Jepang rata-rata berpostur kecil, wilayah teritorial yang sempit, dari segi tata letak geografis negara Jepang terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi, sumber daya alam yang terbatas, dan masih banyak kekurangan yang lain. Tapi mengapa negara dengan banyak kekurangan ini mampu bertahan dan bangkit menjadi negara maju didunia? Apa keajaiban yang terjadi?
Jepang adalah negara yang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya sendiri. Oleh karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir delapan puluh lima persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Hasil pertanian Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen bahan makanan dari negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang maju. Dengan kondisi tersebut bagaimana atau apa yang menjadi rahasia sehingga Jepang bisa menjadi penguasa ekonomi nomor satu didunia?
Mengapa negara Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Indonesia tidak dapat menjadi seperti Jepang? Apakah karakter bangsa Jepang tidak dimiliki bangsa lain? Padahal, berdasarkan ciri fisik dan keadaan geografis, setengah negara tersebut yang lebih baik daripada Jepang. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan hal tersebut. Objek penelian adalah pada sistem penggajian, etos dan budaya kerja orang Jepang. Pada dasarnya, etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lainnya. Jika mereka disebut pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang yang lebih berhasil dan maju dibandingkan dengan bangsa Asia lainnya?
Dalam sistem pengelolaan organisasi bisa dibilang organisasi Jepang berbeda dengan sistem pengelolaan organisasi yang dianut oleh bangsa maju lainnya seperti Amerika. Perbedaan inilah yang membuat organisasi Jepang menjadi unik tapi banyak dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia. Dalam organisasi Jepang pengelola berawal dari posisi bawahan, oleh karena itu pengelola organisasi Jepang lebih akrab dan memahami bawahannya. Sikap terus terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Tim kerja merupakan pondasi dasar dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan bawahan. Fakta-fakta menarik yang yang dapat kita amati dari sistem pengelolaan organisasi Jepang antara lain: bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka sebagai anggota organisasi dan perkumpulan tertentu jika memperkenalkan diri daripada memperkenalkan diri berdasarkan asal negara dan keturunannya. Mereka bangga jika dikaitkan dengan organisasi besar dan berprestasi, tempat mereka bekerja. Kemauan bangsa Jepang menjadi hamba organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara itu menjadi penguasa besar dalam bidang ekonomi dan industri. Sikap ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan pendapat pribadi, masa istirahat, gaji dan sebagainya untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sikap ini berbeda dengan bangsa barat yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anggota organisasi untuk berpendapat dn mengemukakan pandangan. Dalam sistem pengelolaan Jepang ini individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi.
Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja (hlm.70). Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Keberhasilan Jepang mempertahankan statusnya sebagai “Bapak Naga Asia” banyak dibantu oleh budaya kerja dan perdagangan rakyatnya. Agar produk mereka mampu bersaing di dunia Internasional, Jepang tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya, melainkan juga menciptakan berbagai barang lain yang diperlukan konsumen baik ditingkat mikro maupun makro. Sehingga perusahaan Jepang bersedia menghabiskan jutaan rupiah (sekitar 45 persen dari anggaran belanjanya) untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Selain itu mereka juga meletakkan kepercayaan dan jaminan kualitas sebagai aset terpenting pemasaran dan perdagangan. Tidak salah beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki berbagai fungsi. Seperti Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Begitu juga Walkman produk Sony yang menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan remaja pada era 1980-an. Produk itu juga mencetuskan revolusi baru dalam perkembangan elektronik dan audio visual.
Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka.
Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.
Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis.
Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara.
Namun sebelumnya, ada beberapa etos kerja dan budaya kerja bangsa Jepang yang bisa kita ketahui yang didapat dari http://suasanasegar71.multiply.com :
● Masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama.
Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia).
Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. Pada tahun 1996, mahasiswa Jepang yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%. Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Di Jepang pernah ada Perdana Menteri yang memeluk agama Kristen, namanya Ohira Masayoshi. Masa jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980. Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang, tapi sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena toleransi pada agama, lebih tepat disebut karena ketidakpedulian orang Jepang pada agama.
● Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama
Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses modernisasi. Bellah mengatakan ajaran “Sekimon shingaku” (Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain itu, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak ada agama yang mendorong proses kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman (setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan orang Jepang tidak sampai adiksi/kecanduan.
Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas segala sesuatu yang dianggap menguntungkan. Semua hal pasti di kerjakan, biarpun itu berbau porno asalkan senang dan mendatangkan keuntungan
● Etika orang Jepang : etika demi komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.
Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukun komunitas.
Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa melarang Kristen. Tentu saja agama Buddha juga mengutamakan Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu ditindas. Sementara Konfusianisme sengat cocok dengan etika demi komunitas ini. Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang.
Etos kerja seperti itulah yang membuat kepemimpinan perusahaan Jepang yang besar membentuk 3 sistem :
(1). Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus hubungan kerja.
(2). Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji pekerjanya tergantung umur mereka.
(3). Serikat pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja.
Oleh ketiga sistem ini, pekerja menganggap dirinya kuat sebagai anggota perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada perusahaannya. Di atas ketiga sistem ini, etos kerja dan budaya kerja orang Jepang berkembang. Kenyataannya, ketiga sistem ini dibentuk hanya di perusahaan besar, tidak ada di perusahaan kecil. Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan bagi perusahaan kecil juga.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh orang asing.
2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang. Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang,kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaran agama apapun.
Kepemimpinan
Uraian dan pemikiran mengenai kepemimpinan Abad 21 ini beranjak dari pandangan bahwa pemimpin publik harus mengenali secara tepat dan utuh baik mengenai dirinya mau pun mengenai kondisi dan aspirasi masyarakat atau orang-orang yang dipimpinnya, perkembangan dan permasalahan lingkungan stratejik yang dihadapi dalam berbagai bidang kehidupan utamanya dalam bidang yang digelutinya, serta paradigma dan sistem organisasi dan manajemen di mana ia berperan. Tanggung jawab pemimpin adalah memberikan jawaban secara arief, efektip, dan produktif atas berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi zamannya, yang dilakukan bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu setiap pemimpin perlu memenuhi kompetensi dan kualifikasi tertentu.
Apabila konfigurasi kepemimpinan terbangun dari tiga unsur yang interdependensial, yaitu pemimpin, kondisi masyarakat termasuk orang-orang yang dipimpin, dan perkembangan lingkungan nasional dan internasional yang senantiasa mengalami perubahan, maka adalah valid jika kita mempertanyakan kualifikasi kepemimpinan atau persyaratan yang diperlukan bagi adanya kepemimpinan yang efektif dalam menghadapi kompleksitas perkembangan dan dinamika perubahan Abad 21. Dalam hubungan itu kita pun perlu mempertanyakan paradigma dan sistem organisasi dan manajemen (= administrasi negara) relevan yang diperlukan untuk menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi, baik internal mau pun eksternal, atau pun untuk mewadahi interplay dan interdependensi yang terjadi dalam proses kepemimpinan dan perubahan tersebut. Seorang pemimpin publik harus dapat melihat kehadiran dirinya dalam konteks yang luas dan dasar nilai yang dianut serta merupakan acuan hidup dan kehidupann masyarakat bangsanya. Pada tataran tertentu la harus dapat menangkap makna kehadirannya sebagai bagian dari sistem administrasi negara yang mendeterminasikan kompleksitas struktur dan dinamika proses kelembagaan masyarakat negara dan bangsa serta dalam hubungan antar bangsa, yang pada hakikinya merupakan wahana perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara bangsa.
Kompleksitas dan dinamika perkembangan lingkungan stratejik, pada tataran nasional ditandai oleh permasalahan dan tantangan yang multi dimensional, di bidang sosial, ekonomi, politik, kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan, yang di awal Abad 21 ini ditandai antara lain oleh lemahnya struktur dan daya saing perekonomian, penegakkan hukum, pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, besarnya hutang luar negeri, tingkat kemiskinan dan pengangguran, tuntutan demokratisasi, dan ancaman desintegrasi. Pada tataran internasional, terdapat perkiraan bahwa perkembangan lingkungan global ditandai situasi, kondisi, tantangan dan tuntutan, yang makin kompleks, selalu berubah, penuh ketidakpastian, dan bahkan sering tidak ramah.
Perkembangan lingkungan stratejik tersebut menuntut pemimpin dan kepemimpinan yang solid, mampu menganti-sipasi perkembangan ke depan, membangun visi, misi, dan strateji serta mengembangkan langkah-langkah kebijakan, sistem kelembagaan dan manajemen pemerintahan yang relevan dengan kompleksitas perkembangan, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi, baik pada tataran nasional mau pun internasional.
Dewasa ini kita dihadapkan pada situasi di mana berbagai peristiwa di dunia yang biasanya mempengaruhi orang-orang secara perlahan, sekarang menimpa kita hampir secara serta merta dan sangat kuat. Sistem ekonomi global dewasa ini telah membuat sekitar satu milyar dari 5,8 milyar penduduk dunia terintegrasi melalui produk dan pasar. Kapasitas atau kompetensi mengantisipasi perubahan tersebutl kini menjadi faktor pembeda antara kepemimpinan dengan manajemen. Organisasi agar berhasil harus mampu dan mau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan strategiknya (internal maupun eksternal).
Dengan memperhatikan perbedaan fundamental antara kepemimpinan dan manajemen terdahulu dapat diidentifikasi asas-asas kepemimpinan yang perlu kita acu dalam pengembangan kepemimpinan. Apabila manajemen berkaitan dengan penanggulangan kompleksitas usaha organisasi, dan kepemimpinan berkaitan dengan penanggulangan perubahan, maka terlihat suatu sebab mengapa kepemimpinan menjadi begitu penting pada akhir-akhir ini. Karena perkembangan semakin kompetitif dan mudah terombang-ambingnya berbagai organisasi oleh arus perubahan. Pada masa stabil/mapan seperti pertengahan Abad 20 dan sebelumnya, dengan adanya administrasi serta manajemen yang baik setiap organisasi bisa bertahan hidup. Namun pada masa yang intensitas dan frekuensi perubahan yang sangat tinggi seperti pada Abad 21 ini di samping manajemen yang baik juga diperlukan kapasitas dan kualifikasi kepemimpinan yang handal. Saling hubungan antar kepemimpinan, manajemen dengan instrumentasi menurut fungsi dan aktivitasnya, dan azas kepemimpinan tersebut dapat dilihat lebih lanjut pada lampiran
Abad 21 ditandai globalisasi, kehidupan manusia telah mengalami perubahan-perubahan fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan dalam abad sebelumnya. Perubahan-perubahan besar dan mendasar tersebut menuntut penanganan yang berbeda dengan sebelumnya. Peter Senge (1994) menyatakan bahwa ke depan keadaan berubah dan berkembang dari detail complexity menjadi dynamic complexity. Interpolasi perkembangan sebagai dasar perkiraan masa depan, menjadi sulit bahkan sering salah, bukan saja karena parameter perubahan menjadi sangat banyak, tetapi juga karena sensitivitas perubahan yang laian dalam lingkup yang luas, dan masing-masing perubahan menjadi sulit diperkirakan. Abad ke-21 juga abad yang menuntut dalam segala usaha dan hasil kerja manusia termasuk di bidang kepemimpinan. Drucker bahkan menyatakan, tantangan manajemen pada Abad ke-21 adalah berkaitan dengan “knowledge worker“, yang memerlukan paradigma manajemen baru, strategi baru, pemimpin perubahan, tantangan informasi, produktivitas pegawai berbasis pengetahuan, dan kemampuan mengelola diri sendiri (Drucker, 1999).
Gelombang globalisasi itu sendiri selain menghadapkan tantangan juga peluang. Dengan kata lain, globalisasi memiliki dampak-dampak positif dan negatif. Salah satu dampak globalisasi dapat berupa bentuk-bentuk proteksionisme baru. Meskipun batas-batas negara, perdagangan bebas pada tahun 2003 ini mulai diberlakukan, namun demikian bentuk-bentuk proteksionisme yang tidak kelihatan akan muncul. Oleh sebab itu, yang dituntut di dalam masyarakat Abad 21 ialah kepemimpinan yang unggul atau “super”. Ulrich (1998) dalam kaitan ini menawarkan empat agenda utama pengembangan kepemimpinan pada abad ke-21 agar tetap menjadi “champion”, adalah: (1) menjadi rekan yang strategik, (2) menjadi seorang pakar, (3) menjadi seorang pekerja ulung, dan (4) menjadi seorang “agent of change”. Sebab, menurut Ulrich, masyarakat pada Abad 21 adalah suatu masyarakat mega-kompetisi. Pada Abad 21, tidak ada tempat tanpa kompetisi. Kompetisi telah dan akan merupakan prinsip hidup yang baru, karena dunia terbuka dan bersaing untuk melaksanakan sesuatu yang lebih baik. Disisi lain, masyarakat kompetitif dapat melahirkan manusia-manusia yang frustasi apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat kompetitif dengan demikian, menuntut perubahan dan pengembangan secara terus menerus.
Adapun dampak negatif globalisasi atau lebih tegas lagi merupakan ancaman antara lain ancaman terhadap budaya bangsa; lunturnya identitas bangsa; lunturnya batas-batas negara bangsa; dan ancaman-ancaman organisasional lainnya. Kesemuanya, apabila tidak segera dilakukan perbaikannya bukan tidak mungkin akan mengancam kelangsungan hidup suatu negara. Bahkan lebih dari itu, kesatuan dan persatuan suatu bangsa dan negara dapat terkoyak dan terpecah belah. Dengan kata lain, bahwa dampak globalisasi akan menjadi ancaman yang makin besar dan serius, lebih-lebih apabila organisasi tidak memiliki kepemimpinan yang kuat.
Gambaran di atas menunjukan bahwa, pada Abad 21 diperlukan paradigma baru di bidang kepemimpinan, manajemen, dan pembangunan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan baru. Penyusunan paradigma baru menuntut proses terobosan pemikiran (break through thinking process), apalagi jika yang kita inginkan adalah output yang berupa manusia, barang, dan jasa yang berdaya saing. Dalam kaitan hal tersebut, berikut akan disajikan tentang pokok-pokok pemikiran “Kepemimpina dalam Abad 21”, dengan tetap memperhatikan berbagai perkembangan paradigma kepemimpinan sebelumnya yang dipandang valid dalam menghadapi pokok permasalahan dan tantangan abad ini.
Menurut Chowdury (2000) manajemen pada Abad 21 akan tergantung pada 3 faktor yang menopangnya, yakni kepemimpinan, proses, dan organisasi. Asset yang paling berharga bagi pemimpin Abad 21 adalah kemampuan untuk membangun impian seperti dilakukan para entrepreneurs. Faktor pertama, Pemimpin Abad 21 adalah pemimpin yang memiliki kompetensi berupa kemampuan mengembangkan peoplistic communication, emotion and belief, multi skill, dan juga memiliki next mentality. Pemimpin yang berhasil dalam mengejar dan mengerjakan impian-impiannya menggunakan komunikasi, dan memberikan inspirasi kepada setiap orang dalam organisasi untuk juga meyakini impiannya. Sebab itu, kompetensi sang pemimpin ditandai dengan sikap peoplistic bukan individualistic. Diingatkan oleh Chowdury bahwa “You can have the best communication system, but if you areindividualistic as a leader the organization suffers”. Seorang komunikator yang peopulistik mengembangkan iklim yang bersahabat di mana setiap orang dapat berkomunikasi secara cepat. Dalam organisasi yang besar komunikasi dapat mengalami kegagalan karena jenjang birokrasi dan orang hanya menerima sekitar 10% dari informasi yang dibutuhkannya. “The 21st century leader will be a firm believe in such peoplistic communication, which is fast and all envolving”.“You should touch the heart, touch the mind, touch the emotion”. Komitment emosional sangat berharga bagi manajemen. Untuk mendapatkan komitmen terhadap suatu strategi baru, dapat ditempu dengan melibatkan orang-orang dalam penyusunan startegi tersebut, dan dengan mengurangi jangka waktu antara konsptualisasi strategi dan pelaksanaannya. Sedangkan mengenai believe, dikemukakan bahwa “That should be the 21st century leader’s watchword”; dan ada perbedaan mendasar antara memenrima (accepting) dan mempercayai (believing). Bertalian denga kompetensi multi skill, Chowdury memandang bahwa “twenty first century leaders will become more multi-skilled than their 20th”…”One of the important characteristics of multi-skill leader is the abality to encourage diversity”. Sebab, tantangan organisasional sesungguhnya pada Abad 21 bukanlah jarak geograpikal, melainkan diversitas kultural. Mengenai next mentality, yang dipandang sebagai kunci keberhasilan oragnisasi Abad 21, meliputi hard working, never satisfied, idea-centric, curious, dan persistent. Kompetensi lain menurut Chowdury adalah sentuhan emosional (emotion) dan kepercayaan (belief). Emosi dalam pengertian century predecessorsFaktor kedua, Proses Abad 21 fokus pada kegiatan inti (core pactices), meliputi 4 area kritis berupa grass root education, fire prevention, direct interaction, dan effecrive globalization. Grass root education dimaksudkan pendidikan dan pelatihan yang melibatkan seluruh staff tanpa diskriminasi, dari pimpinan sampai staff biasa. Fire prevention dimaksudkan sebagau wawasan dan upaya untuk meningkatkan durasi kemanfaatan teknologi dalam produksi dan distribusi produk-produk tertentu. Direct interaction, organisasi Abad 21 menekankan lebih pada entusisme pelanggan di samping kepuasannya; “Customer enthusiasism means excitement and loyalty on the part of customer, fuelled by the service and producta available to them exceeding their expectations”. Effecrive globalization; gloablisasi selalu mengandung resiko yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Permasalahannya adalah berapa cepat respons dalam menghadapi perubahan dramatik yang terjadi. Dalam hubungan itu, Chowdury berpandangan bahwa manajemen harus : study local culture, local market, and local competition; prepare a busisness model that effectively seves the market needs; select the right strategic local partner or group with thw bwst local market knowledge; encourage employees by maintaining local values; introduce new and innovative product, with local flavour.
Faktor ketiga, Organisasi Abd 21 yang komit terhadap kualitas sumber daya manusia. “The driving force of behind a 21 st century organization will be it people…People manage people, inside and outside an oraganization. Effective management of people is a challlenge managers will increasingly face in the 21 st century”.
Berbagai kompetensi kepemimpinan yang telah dikemukakan terdahulu, seperti yang dikemukanan Spencer dan Kazanas, Warren Bennis, Kanter akan tetap diperlukan bagi kepemimpinan dan pemimpin Abad 21. Dalam rangka pengembangan pemikiran tersebut ada baiknya apabila kita eksplorasi dan simak kembali berbagai pandangan mengenai kepemimpinan dan pemimpin yang dikemukakan beberapa ahli. Cooper dan Sawaf (1997: p. 15), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang pimpinan dalam merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Bethel, mengemukakan bahwa, kepemimpinan merupakan pola keterampilan, bakat, dan gagasan yang selalu berkembang, bertumbuh, dan berubah. White Hodgson, dan Crainer (1997:129-163), berpendapat kepemimpinan masa depan adalah pemimpin yang terus belajar, memaksimalkan energi dan menguasai perasaan yang terdalam, kesederhanaan, dan multifokus. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa kualitas menjadi penting dan kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Mencari pengetahuan dan menggali ilmu harus terus dilakukan bagi pemimpin masa depan, hal ini sangat penting sebab ilmu pengetahuan merupakan energi vital bagi setiazp organisasi. Sejalan dengan pendapat ini, Kotter (1998), mengemukakan bahwa kemampuan seseorang pemimpin masa depan meliputi kemampuan intelektual dan interpersonal untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Ronald Heifetz dan Laurie (1998) berpendapat, kepemimpinan masa depan adalah seorang pemimpin yang adaptif terhadap tantangan, peraturan yang menekan, memperhatikan pemeliharaan disiplin, memberikan kembali kepada para karyawan, dan menjaga kepemimpinannya. Ditambahkan, kepemimpinan harus selalu menyiapkan berbagai bentuk solusi dalam pemecahan masalah tantangan masa depan. Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap perubahan, ditekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan peraturan-peraturan baru, hubungan dan kerjasama yan baru, nilai-nilai baru, perilaku baru, dan pendekatan yang baru terhadap pekerjaan.
Demikian pula halnya beberapa gaya, tipologi, atau pun model dan teori kepemimpinan yang telah berkembang pada dekade-dekade akhir Abad 20 yang relevan dalam menghadapi tantangan dan permasalahan Abad 21, dapat kita pertimbangkan dalam mengembangkan Kepemimpinan Abad 21, termasuk kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksi-onal sebagai alternatif model kepemimpinan Abad ke-21.
Kepemimpinan Transformasional.
Kepemimpinan transformasional menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Teori transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional.
Secara konseptual, kepemimpinan transformasional di definisikan (Bass, 1985), sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi (Bass, 1985).
Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin-pemimpin politik. Burns, menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian (Burns, 1997).
Dengan cara demikian, antar pimpinan dan bawahan terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha ke arah tujuan yang ingin dicapai organisasi. Melalui cara ini, diharapkan akan tumbuh kepercayaan, kebanggan, komitmen, rasa hormat, dan loyal kepada atasan sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka lebih baik dari biasanya. Ringkasnya, pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin) bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan seperti ; attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas perilaku dimaksud adalah sebagai berikut.
Attributed charisma. Bahwa kharisma secara tradisional dipandang sebagai hal yang bersifat inheren dan hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin kelas dunia. Penelitian membuktikan bahwa kharisma bisa saja dimiliki oleh pimpinan di level bawah dari sebuah organisasi. Pemimpin yang memiliki ciri tersebut, memperlihatkan visi, kemampuan, dan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat) daripada kepentingan pribadi. Karena itu, pemimpin kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan oleh bawahannya, yaitu idealized influence.
Idealized influence. Pemimpin tipe ini berupaya mempengaruhi bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha mengindentikkan diri dengannya. Hal ini disebabkan perilaku yang menomorsatukan kebutuhan bawahan, membagi resiko dengan bawahan secara konsisten, dan menghindari penggunaan kuasa untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, bawahan bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan bekerja ke tujuan bersama.
Inspirational motivation. Pemimpin transformasional bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan, memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasisme dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-harapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan melalui komitmen yang tinggi.
Intelectual stimulation. Bahwa pemimpin mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya diharapkan, bawahan merasa pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa menemukan cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh positif lebih jauh adalah menimbulkan semangat belajar yang tinggi (oleh Peter Senge, hal ini disebut sebagai “learning organization”).
Individualized consideration. Pimpinan memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap bawahan antara lain, merasa diperhatian dan diperlakukan manusiawi dari atasannya.
Dengan demikian, kelima perilaku tersebut diharapkan mampu berinteraksi mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku bawahan untuk mengoptimalkan usaha dan performance kerja yang lebih memuaskan ke arah tercapainya visi dan misi organisasi.
Kepemimpinan Transaksaksional.
Pengertian kepemimpinan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama.
Menurut Bass (1985), sejumlah langkah dalam proses transaksional yakni; pemimpin transaksional memperkenalkan apa yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan bawahan peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin tanggap terhadap minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan kinerjanya.
Dengan demikian, proses kepemimpinan transaksional dapat ditunjukkan melalui sejumlah dimensi perilaku kepemimpinan, yakni; contingent reward, active management by exception, dan passive management by exception. Perilaku contingent reward terjadi apabila pimpinan menawarkan dan menyediakan sejumlah imbalan jika hasil kerja bawahan memenuhi kesepakatan. Active management by exception, terjadi jika pimpinan menetapkan sejumlah aturan yang perlu ditaati dan secara ketat ia melakukan kontrol agar bawahan terhindar dari berbagai kesalahan, kegagalan, dan melakukan intervensi dan koreksi untuk perbaikan. Sebaliknya, passive management by exception, memungkinkan pemimpin hanya dapat melakukan intervensi dan koreksi apabila masalahnya makin memburuk atau bertambah serius.
Berdasarkan uraian di atas, perbedaan utama antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat diidentifikasi yakni, bahwa inti teori kepemimpinan transaksional terutama menjelaskan hubungan antara atasan dan bawahan berupa proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis, sementara teori kepemimpinan transformasional pada hakikatnya menjelaskan proses hubungan antara atasan dan bawahan yang di dasari nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi mengenai visi dan misi organisasi. Hal ini bermakna, bahwa pandangan teori kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada pertimbangan ekonomis-rasional, adapun teori kepemimpinan transformasional melandaskan diri pada pertimbangan pemberdayaan potensi manusia. Dengan kata lain, tugas pemimpin transformasional adalah memanusiakan manusia melalui berbagai cara seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan peran karyawan untuk mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju aktualisasi diri yang nyata.
Meskipun masih banyak yang harus dikaji tentang kepemimpinan transformasional, namun terdapat cukup bukti dari hasil-hasil berbagai jenis penelitian empiris untuk mengusulkan beberapa pedoman sementara bagi para pemimpin yang mencoba untuk mentransformasikan organisasinya serta budayanya, dan bagi para pemimpin yang ingin memperkuat budaya yang ada dari suatu organisasi. Lebih khusus lagi, pedoman-pedoman dimaksud adalah sebagai antisipasi terhadap berbagai hal yang mungkin dihadapi pada abad ke-21. Beberapa pedoman tersebut, adalah sebagai berikut: (a) Kembangkan sebuah visi yang jelas dan menarik; (b) Kembangkan sebuah strategi untuk mencapai visi tersebut; (c) Artikulasikan dan promosikan visi tersebut; (c) Bertindak dengan rasa percaya diri dan optimis; (d) Ekspresikan rasa percaya kepada para pengikut; (e) Gunakan keberhasilan sebelumnya dalam tahap-tahap kecil untuk membangun rasa percaya diri; (f) Rayakan keberhasilan; (g) Gunakan tindakan-tindakan yang dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai utama; (h) Memimpin melalui contoh; (i) Menciptakan, memodifikasi atau menghapuskan bentuk-bentuk kultural; dan (j) Gunakan upacara-upacara transisi untuk membantu orang melewati perubahan.
Abad 21 juga mengisyaratkan diperlukannya global leadership dan mind set tertentu. Seiring dengan dinamika perkembangan global, berkembang pula pemikiran dan pandangan mengenai kepemimpinan global (global leadership), yang akan banyak menghadapi tantangan dan memerlukan berbagai persyaratan untuk suksesnya., seperti dalam membangun visi bersama dalam konteks lintas budaya dalam kemajemukan hidup dan kehidupan bangsa-bangsa.
15 langkah pengambilan keputusan
15 LANGKAH PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SETIAP hari kita dihadapkan pada keadaan yang menuntut kita untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan asal-asalan sebab keputusan kita saat ini akan mempengaruhi hidup kita di waktu yang akan datang.
Memutuskan sesuatu yang penting bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika keputusan tersebut merupakan keputusan yang menentukan gerak bisnis perusahaan. Anda butuh waktu lama untuk mengambil keputusan yang terbaik. Tak jarang Anda dilanda “pusing tujuh keliling” karena ketika masih berpikir, Anda sudah dipaksa membuat keputusan secepatnya.
Untuk Anda yang sedang berpikir untuk mengambil keputusan, coba deh tips singkat berikut:
1. Jangan takut mengambil keputusan. Beberapa orang takut mengambil keputusan. Akibatnya bukan kita yang mengambil keputusan tapi keadaanlah yang memberikan keputusan kepada kita.
2. Jangan mengambil keputusan secara emosional, tapi gunakanlah pertimbangan yang matang. Dengan demikian kita mampu berpikir secara rasional dan menghitung plus minus dari setiap keputusan yang hendak kita ambil.
3. Untuk menghasilkan keputusan yang cepat, Anda tidak perlu menunda-nunda waktu karena keputusan tidak bisa hanya melalui proses satu malam saja. Awasi setiap perkembangan yang mungkin akan mengubah keputusan Anda sewaktu-waktu.
4. Gunakan analisa yang tajam dalam mengolah data yang sudah susah payah Anda kumpulkan. Ambil keputusan yang paling bijaksana dan memiliki risiko paling kecil. Anda juga masih perlu mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut satu demi satu.
5. Pastikan Anda mengetahui batas terakhir (deadline), kapan keputusan itu harus ditetapkan. Setelah itu tentukan deadline untuk diri sendiri, kapan keputusan tersebut sudah harus Anda buat. Catat tanggal yang Anda tentukan sebagai batas deadline.
6. Tetapkan dengan jelas kriteria atau kualifikasi keputusan yang harus Anda ambil. Misalnya keputusan tersebut harus menguntungkan karyawan dan perusahaan atau keputusan tersebut tidak memberatkan semua pihak.
7. Kumpulkan informasi dan data penting yang mempengaruhi hasil keputusan. Karena siapa tahu informasi tersebut diperlukan untuk bahan argumentasi. Jangan lupa menentukan batas waktu pengumpulan informasi.
8. Buatlah beberapa alternatif keputusan dari data dan informasi yang telah terkumpul. Pelajari dan pertimbangkan nilai atau bobot masing-masing alternatif tersebut, mana yang paling pas dan tepat.
9. Jangan sekalipun berlaku subjektif dalam mengambil keputusan. Artinya jangan memilih keputusan yang menguntungkan Anda atau sekelompok orang semata.
10. Ketika Anda telah mempelajari dan mempertimbangkan dengan matang alternatif keputusan tersebut, jangan ragu menentukan keputusan terbaik dari beberapa alternatif keputusan yang ada. Ingat, keragu-raguan hanya akan membuat keputusan yang sudah Anda ambil “mentah” kembali.
11. Umumkan keputusan yang Anda buat pada waktu yang tepat dan telah ditentukan. Pada saat mengumumkan keputusan ini pastikan bahwa Anda didukung oleh data yang kuat, akurat, dan relevan. Kalau perlu saat menyampaikannya, katakan bahwa keputusan ini dibuat atas pertimbangan dan pemikiran yang matang dan rasional.
12. Jangan takut memaparkan argumen Anda, seandainya ada pihak yang merasa keberatan. Jangan sampai komplain atau protes dari penerima keputusan membuat Anda berpikir untuk merubah keputusan yang telah Anda buat.
13. Dalam membuat keputusan, Anda memilih dari beberapa alternatif, bukan memilih mana yang salah atau mana yang benar. Jadi, tidak ada keputusan yang salah atau benar. Tapi keputusan yang diambil bisa saja hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Jadi, Anda tidak perlu menyesali keputusan yang telah diambil. Apa lagi terpaku pada penyesalan yang berlarut-larut ketika keputusan yang Anda ambil ternyata tidak memberikan hasil yang kita harapkan.
14. Setelah mengambil sebuah keputusan, apa pun hasilnya, Anda harus memantau terus, dan memfokuskan usaha Anda untuk melakukan yang terbaik dari apa yang telah diputuskan. Anda juga bisa melakukan berbagai penyesuaian agar hasilnya bisa diarahkan untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan bersama.
15. Dalam mengambil keputusan cepat, sedapat mungkin libatkan orang-orang yang terkait dengan keputusan yang diambil. Dengan melibatkan mereka, Anda bisa mendapat masukan yang berharga, selain itu, Anda bisa mengundang komitmen mereka untuk mendukung keputusan yang telah diambil. Yang bisa Anda lakukan antara lain adalah menanyakan pendapat dan usulan mereka. Informasi ini bisa dijadikan acuan untuk mengambil keputusan.
Nah, kalau keputusan itu sudah bulat, jangan sampai Anda sebagai pembuat keputusan mencemari konsekuensi keputusan yang telah ditetapkan bersama. Selamat mengambil keputusan!