Merajut Masa Depan (CSA) ditengah Gereja Keuskupan
Ruteng
Oleh : Suryadi CSA
“Usiaku
kira-kira 14 tahun ketika itu. Suatu hari di bulan Mei Sekolah Menengah Pertama
swasta Katolik yang terkenal dengan
disiplinnya mewajibkan kami semua
murid-muridnya berziarah ke Goa
Maria Sendang Sono. Mungkin waktu itu bisa dikatakan bukan jarak yang jauh,
karena bisa ditempuh dengan sepeda
kayuh bagi semua muridnya. (Red: SMP PL
Kaliduren Moyudan - Sendang sono ± 75
km). Untuk jaman sekarang pasti murid seusiaku waktu itu pasti mengatakan :
Waduh bersepeda kayuh ? Jauuuuh! mana
kuat ? Medannya juga bukan medan
yang rata, landai tetapi melalui liku-liku jalan perbukitan. Kita tahu
bagaimana jalur Kalibawang – Sendangsono? Pokoknya sesuai dengan lagu Naik-naik ke puncak gunung. (Red.
Naik naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat poho, banyak pohon cemara .....)
Capai lelah mengiringi rasa lega itulah yang saya alami. Karena
akhirnya.... toh sampai juga di tujuan akhir : Goa Maria Sendang sono dengan
kekhasan jalan salibnya naik...naik.... dan naik menuju dimana terdapat Patung
Bunda Maria Lourdes bertahta di sana. Dalam rasa capai itulah setelah
menyelesaikan proses bersama menjalani jalan yang berlika-liku dan naik, saya duduk untuk istirahat. Tempat yang teduh
diketinggian, didalam bangunan terbuka, yang bisa memandang bebas ke alam di
sekitarnya. Didepannya trap-trapan berlantai paving menghiasi seni arsitektur si
pembuatnya. Menarik dan tidak akan pernah merasa bosan. Di tempat dimana aku duduk memang disediakan pondok-pondok
peristitahatan. Pandangan saya secara tiba-tiba berhenti. Penglihatan mata saya
tertuju pada seekor binatang merayap
berkaki dan bertangan panjang. Ia... seekor laba-laba yang sedang bergerak naik
turun, kanan kiri. Apa yang dilakukan ? pertanyaaan dalam hatiku. Dan ternyata... binatang tu sedang
menganyam sarangnya. Binatang berkaki panjang itu sedang merajut rumah. Dia
membangun bukan dari semen dan batu, dia membangun dari lendir yang keluar dari
tubuhnya. Batin saya : Luar biasa bisa-bisanya terbentuk sarang seperti itu. Wauwww
suatu karya yang luar biasa hebatnya, unik
menarik, dan dahsyat. Muncul pertanyaan dalam hati : Dari mana binatang itu mendapat ilmu merajut!
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan merajut adalah menyirat
jaring-jaring. Dari kata rajut yang artinya jaring/jala/siratan benang)
Proses berjalan, liku-liku jalan, capai – lelah, dan
akhirnya adalah mencapai cita-cita
bersama sebagai tujuan akhir. Setiap
pribadi, setiap lembaga kapan dan dimanapun pasti memiliki tujuan akhir yang
ingin dicapai dalam gerak langkahnya. Tidak berlebihan jika ini disebut :
merajut masa depan.
Bruder – Bruder CSA merajut masa
depan. Komunitas CSA Ruteng merajut masa depan. Gereja Keuskupan Ruteng merajut
masa depan. Kita semua merajut masa depan, dengan berbagai aspek dan bidangnya.
Sebagai bahan refleksi saya akan mensharekan (dan men-sari-kan) apa yang di
rajut oleh Gereja Keuskupan Ruteng tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 yang menyebut diri sebagai tahun SINODE
KEUSKUPAN . Kenapa dan ada apa dengan tahun tersebut?.
SINODE KEUSKUPAN RUTENG
Tahun itu adalah tahun Sinode III Keuskupan Ruteng. Proses berjalannya
sudah sejak kwartal pertama tahun 2013.
Langkah yang ditempuh adalah mengumpulkan data atau analisis data pendukung untuk
proses Sinode. Panitia menempuhnya dengan Teori 3M, yakni Melihat, Menilai (Menimbang)
dan Memutuskan.
Apa maksudnya? Dengan meropong bersama
secara jernih situasi nyata umat diarahkan bisa menemukan masalah dominan dan
isu strategis dalam kehidupan bersama. Dengan mempertimbangkan situasi aktual
dalam cahaya iman kristiani menilainya dalam tuntunan Kitab Suci dan ajaran
serta tradisi Gereja. Serta membuat rekomendasi dan kebijakan pastoral yang
bisa menjawabi situasi kongkrit umat
melalui inspirasi sabda Allah.
Apa itu Sinode ?
Mgr Hubertus Leteng Pr, dalam
kotbah Ekaristi pelantikan panitia Sinode III
di gereja Katedral Ruteng mengungkapkan bahwa Sinode adalah sebuah
perjalanan bersama (Efata masuk dalam kepanitiaan Sinode yakni anggota panitia bagian
penyelenggara (OC). Senada dengan isi kotbah tersebut dalam puisinya yang
digulirkan dalam Sesi Stressing Sinode tersebut
Rm. Edi Menori Pr (Asisten Urusan SC), mengatakan bahwa kunci dari Sinode adalah Lonto- Leok (Red : berjalan bersama untuk memecahkan persoalan yang
dialami), Lebih lanjut ditekankan dalam puisi tersebut orangnya sama, Gerejanya
sama, TETAPI persoalannya berbeda. Persoalannya sama, Gerejanya sama
TETAPI, orangnya berbeda. Jelas bahwa
situasi dan konsisi serta persoalan yang
dialami Gereja masa kini mungkin bisa sama, tetapi juga berkembang, dan yang
menghadapi mungkin juga sama tetapi bertambah banyak dan bertambah kompleks.
Dibawah ini adalah catatan kecil
perjalanan Sinode III sesi 1 yang
diselenggarakan di Efata Ruteng tanggal 13 s/d 17 Januari 2014. Yang barang
kali akan menjadi acuan melihat perjalanan CSA di Gereja Keuskupan Ruteng untuk
waktu yang akan datang.
Persoalan
dasar
Bagaimana reksa pastoral Gereja partikular
Keuskupan Ruteng selama Ini ?
- Isu-isu pastoral aktual mana yang menantang perutusan Gereja partikular Keuskupan Ruteng?
- Bagaimana Gereja partikular Keuskupan Ruteng semakin dapat mewujudkan Kerajaan Allah dalam konteks dunia kehidupan di Manggarai Raya dewasa ini (yang berubah semakin cepat)?
Sinode adalah refleksi dan dialog
tentang kehidupan Gereja. Tujuan akhirnya adalah menemukan gambaran yang
obyektif tentang kehidupan pastoral gereja partikular selama ini, potret
dinamika kehidupan umat yang kongkret sekarang ini dengan segala problemnya,
suka-dukanya, kecemasan dan harapannya, serta reksa pastoral kontekstual
transformatif yang berbasis iman demi terwujudnya gereja yang beriman solid,
mandiri dan solider.
Sinode berarti jalan bersama. Berziarah
bersama adalah satu ciri persekutuan umat Allah, yang diungkapkan dalam doa,
ibadat, perayaan kudus. Dengan proses berbagi yang dinyatakan dalam Ekaristi
Kudus, terbagun solidaritas kehidupan dimana ini menjadi tujuan akhir dari misi
Yesus Kristus lahir ke dunia. Orang
manggarai mengatakan : lako cama-cama,
lako neki ca, padir wa’i rentu sa’i, lonto-leok. Sangat menggembirakan dan
membanggakan bahwa tradisi lokal dan kebijakan luhur nenek moyang sebenarnya
sudah mempraktekkan proses duduk bersama, berjalan bersama. Itulah asas dasar Sinode yakni lonto-leok (duduk bersama)
Pengertian lain yang bisa menjadi
bahan refleksi kita bersama adalah perlunya mengaso
(red. beristirahat) sejenak, dalam bahasa Manggarai di katakan wejang asi. Disana orang beristirahat
untuk melepas lelah, sambil makan dan minum berbicara dengan teman
seperjalanan. Disana orang menimba kekuatan baru untuk perjalanan selanjutnya.
Reksa pastoral berhenti sejenak demi menimba kekuatan dari Allah dalam
peziarahan bersama untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Maka kita semua perlu
mengayunkan langkah bersama, merumuskan visi masa depan bersama, dan akhirnya
bergerak bersama, demi tercapainya tujuan bersama.
Cermin diri : Keluar dari Kemapanan Merajut masa depan
Tidak mudah yang namanya keluar dari
kemapanan. Apalagi jika hal itu sudah meng-enak-kan
dan menyenangkan. Tidaklah gampang keluar dari rutinitas. Terlebih lagi kalau
keluar itu menuntut korban : korban waktu, tenaga dan uang apalagi sampai
korban perasaan. Tidaklah enak keluar dari ritme pelayanan. Karena hal itu
menantang dan menuntut jalan baru. Lebih enak menjadi seperti sang imam dan orang Lewi dalam Kisah Injil
dimana melihat orang yang menderita karena di rampok, dilukai dan ditinggal di
pinggir jalan (Lukas 10:25-37), berjalan
terus dari Yeriko ke Yerusalem untuk memenuhi
kewajiban agama dan menjalankan rutinitas ibadat dari pada menjadi seperti
orang samaria yang baik hati yang ketika mendengar jeritan penderitaan berhenti
dari perjalanannya lalu berbelok dari jalan dan rencananya. Akhirnya harus
pergi ke pinggir jalan, untuk menjamah, menopang, menolong si korban. Keluar dari diri, keluar dari
rutinitas, dan masuk dalam situasi baru yang belum jelas apalagi yang sulit
menuntut kerelaan dan kepekaan hati, membutuhkan kerja keras, membuat capai dan
letih. Hal itu bahkan dapat membuat kerja kita tertatih-tatih, mejadi peot dan bahkan harus terluka.
Tapi hanya dengan begitulah kita
menjadi Gereja Kristus, persekutuan para murid yang menapaki jalan kurban sang
Guru. Meski sempoyongan dalam perjuangan ditengah dunia, kita diteguhkan, sebab
kita yakin barang siapa berjalan bersama Kristus, Dia akan menuntun dan
menopangnya dalam pelukan kerahiman yang Ilahi.
Selanjutnya bagaimana kita bisa
keluar dari kemapanan diri sendiri dan terlibat secara utuh dan penuh dalam
kehidupan manusia? Kerasulan apa yang bisa membawa kita terjun, melebur,
menyatu dengan gereja umat Allah, dibutuhkan, bermanfaat dan berguna bagi
pengembangan Kerajaan Allah?. Bagaimana menjadi Gereja “orang Samaria yang baik
hati”, di mana yang menjadi spirit dasar
pelayanan bukanlah keterikatan pada rutinitas dan aturan tetapi bela rasa
dengan mereka yang membutuhkan.
Evaluasi
layanan
Hasil penilaian DPP atas Elemen buah layanan
Pastoral di Keuskupan Ruteng
Periode 2007 - 2012
No
|
Elemen
Layanan
|
Penilaian
Sangat
baik - Baik
|
Penilaian
kurang
baik - tidak baik
|
1
|
Buah Layanan
Liturgia
|
74,49%
|
25,51%
|
2
|
Buah
Layanan Koinonia
|
39,21%
|
60,79%
|
3
|
Buah
Layanan Diakonia Ekonomi, Sosial, Politik dan Ekologi
|
29,09%
|
70,91%
|
4
|
Buah
Layanan Diakonia Pendidikan
|
40,4%
|
59,6%
|
5
|
Buah
Layanan Kerygma
|
50,01%
|
49,99%
|
6
|
Buah
Layanan Administrasi Kantor
|
83,87%
|
16,13%
|
7
|
Buah
Layanan Keuangan
|
76,48%
|
23,52%
|
|
Total
Buah Layanan Pastoral
|
56,02%
|
43,98
|
Sumber : tabel 1 data hasil penilaian DPP atas elemen buah
layanan pastoral di Paroki periode 2007 – 2012 di Keuskupan Ruteng (buku materi
SINODE III Keuskupan Ruteng sesi 1)
Data menyebutkan bahwa menjadi
persoalan dasar Keuskupan Ruteng dewasa ini lebih menyorot pada pelayanan Diakonia
yang meliputi Ekonomi, Sosial, Politik
dan Ekologi. Dari dasar prosentase penilaian baik hanya 29,09% artinya lebih
dominan penilaian kurang baiknya. Ini realita yang terjadi ditengah masyarakat
bahwa pengentasan kemiskinan perlu perjuangan yang tidak gampang. Upaya
peningkatan ekonomi masyarakat sudah sejak lama diperjuangkan. Berbagai
kerasulan berkaitan dengan pengentasan
kemiskinan tidak sedikit jumlahnya, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pusat,
pemerintah daerah, LSM, Karya Misi.
Tempo waktu ada yang baru beberapa tahun sampai dengan yang sangat lama.
Namun demikian hasil kuesioner ditengah masyarakat (umat paroki yang tersebar
di 3 kabupaten) menyatakan prosentase penilaian baik lebih rendah dibanding penilaian kurang baik.
Persoalan ekonomi kapan dan
dimanapun menjadi persoalan mendasar (apalagi daerah Indonesia bagian Timur). Tujuan
akhir dari langkah pengentasan kemiskinan adalah penungkatan ekonomi msyarakat
menuju masyarakat yang sejahtera (hidup cukup).
Persoalan Sosial menjadi issu
yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi, Kehidupan sosial baik bisa
dipengaruhi oleh situasi ekonomi yang baik.
Persoalan politik bisa berdampak
pada pemiskinan masyarakat. Orang berlomba-lomba mencapai tujuan meningkatkan
ekonomi dengan jalur ini, dan tidak sedikit yang mengorbankan harta milik.
Politik dimana pun adanya adalah persaingan, siapa kuat itulah yang menang.
Maka dampak yang pasti terjadi bagi masyarakat
adalah banyaknya harta milik yang
dikorbankan. Demi pencapaian tujuan peningkatan ekonomi.
Ekologi di Keuskupan Ruteng menjadi issu besar. Eksplorasi tambang
menjadi salah satu penyebab konflik yang akhirnya masyarakatlah yang mengalami
dampak langsung. Rusaknya sistem dan struktur tanah menyebabkan kesulitan air
bersih. Muara yang terjadi adalah kemiskinan masyarakat.
Bagaimana dengan realita ini ?
Refleksi
- CSA hadir minimal 20 tahun terakhir berupaya membantu masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi. Kurun waktu 20 tahun tidak sedikit masyarakat (baca : orang muda) yang merasakan pelatihan di PUSLAT PSE St. Aloisius Ruteng (Pengembangan Sosial Ekonomi). Harapan besar adalah memandirikan masyarakat dimana menjadi tujuan gereja lokal. Persoalan ekonomi sejak awal di tengarai dari minimnya daya juang, lemahnya daya masyarakat yang enggan berusaha sendiri, berdaya guna sendiri meninggalkan ketergantungan kepada orang lain, dengan mencari nafkah dari ketrampilan yang dimilki. Visi jauh kedepan adalah ekonomi berkembang baik, kesejahteraan meningkat.
- Merajut benang sebagaimana yang dilakukan oleh laba-laba cerdas adalah demi masa depan anak cucunya, untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan hidup. Rumah atau komunitas adalah hilirnya dan masyarakat adalah muaranya.
- Lelah capai menjadi bagian serta proses yang tidak bisa di tinggalkan menuju tercapainya tujuan bersama. Melewati lika-liku hidup, diantara tebing dan jurang bisa menjadi pemicu semangat berkarya, sekaligus bisa menjadi pelemah semangat karena tidak mau keluar dari kemapanan, enggan berbelok dan merubah jalur rutinitas. Bersediakah kita menjadi orang Samaria, atau tetap memilih menjadi orang Lewi (bdk. Lukas 10:25-37)
(Disarikan dari berbagai sumber
materi Sindode dan pengalaman keikutsertaan
selama Sinode 13 – 17 Januari 2013 di Efata Ruteng)
Ruteng, 20 Januari 2014
Suryadi CSA