Pilihan bebas
(oleh-oleh permenungan diri)
Akhir bulan Agustus tahun lalu, saya mengadakan retret pribadi 8 hari di Pertapaan Santa Maria, Rawaseneng, Temanggung. Ini adalah kali ke 3 saya memilih tempat yang sama yakni tahun 2005, 2006, dan 2008. Menjadi pertanyaan kecil dalam diri saya yang selanjutnya saya renungkan : Mengapa ya saya memilih tempat itu ? Apa enaknya memilih tempat yang jauh, sendirian ! Memang barangkali ketika orang lain berbagi tentang pengalaman retret yang merasakan menu makan luar bisa enaknya, kamar yang sejuk ber AC, rombongan, sehingga nyaman, ketemu kenalan lama, lalu diakhir retret ada rekreasinya ke pantai atau hal-hal yang “serba” mengenakkan, lalu saya menceritakan tentang pengalaman bagaimana tinggal dalam kamar sempit, silentium sepanjang hari, harus menahtur jadual sendiri, pembimbing yang seorang imam pertapa, mengikuti peribadatan komunitas dimana rutin 7 kali dalam sehari, menu makan sangat biasa, melayani sendiri pokoknya self service. Biasa dan serba apa adanya…..
Saya belajar dari Sejarah hidupnya Santo Benediktus dimana terlihat jelas kepribadian Benediktus sebagai seorang pemimpin biara yang ramah tamah, bijaksana dan penuh pengertian. Sikapnya sangat moderat baik dalam hal doa, kerja, pewartaan, makanan, tidur, dan lain- lainnya.
Masuk dalam permenungan : Iya ya, bukankah peletak dasar kongregasi kita adalah seorang imam pertapa ( Pastor Willem Hellemons, O.Cist), semangat apa yang bisa saya timba !
Pilihan bebas itu yang senantiasa saya dengungkan dalam hati ini, tidak ada yang meminta dan tidak ada yang menunggu tetapi saya berniat dan saya mau seperti itu. Kalau lebih jauh saya rasakan ada sesuatu yang menyentuh dalam hati ini yakni kesenyapan dan ritme yang mengajak untuk setia. Secara fisik delapan hari melakukan hal yang sama baik ritme harian, acara, suasana serta, menu jasmani yang tidak jauh berbeda, pun mengalami kebosanana namun menilik apa yang dilakukan oleh para rahib yang bukan hanya 8 hari bahkan ada yang puluhan tahun melakukan hal serupa ditempat yang sama sungguh terbayang rasa osan yang besar. Namun toh mereka TETAP bisa. Sungguh hal yang luar biasa berangkat dari pilihan bebas.
Keunggulan (bc : kelebihan) dari membangun kesetiaan antara lain kesadaran diri bahwa saya mau melakukan dengan kesungguhan. Kesetiaan bagi religius saya kira menjadi pegangan adlam melangkahkan hidup ke depan disamping. Jika setia melakukan hal-hal sederhana kedepan bisa diandalkan melakukan hal-hal yang lebih besar. Didalam Dekrit Tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius dinyatakan bahwa Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius yakni para anggota tarekat di mana pun juga hendaknya mengingat, bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (lih. Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia hidup bagi Allah semata-mata. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Dan itu merupakan suatu penyucian istimewa.
Saya berpikir bahwa kesadaran akan pilihan bebas ini tertanam dalam hati dan berdampak pada sikap mau mengambil bentuk askesis dalam hidup. Kemauan untuk mau berjerih lelah, mau merasakan bagaimana tradisi yang biasa menjadi luar bisa nilainya. Saya mengandaikan bahwa ibarat orang makan biasanya dengan tangan kanan, bersendok, memakai piring kemudian mencoba mengalami yang tidak biasa dengan daun pisang, memakai tangan, atau mencoba dengan tangan kiri. Namun yang penting dari itu semua adalah kesadaran dari dalam diri, bahwa saya mau mengalami hal itu.
(oleh-oleh permenungan diri)
Akhir bulan Agustus tahun lalu, saya mengadakan retret pribadi 8 hari di Pertapaan Santa Maria, Rawaseneng, Temanggung. Ini adalah kali ke 3 saya memilih tempat yang sama yakni tahun 2005, 2006, dan 2008. Menjadi pertanyaan kecil dalam diri saya yang selanjutnya saya renungkan : Mengapa ya saya memilih tempat itu ? Apa enaknya memilih tempat yang jauh, sendirian ! Memang barangkali ketika orang lain berbagi tentang pengalaman retret yang merasakan menu makan luar bisa enaknya, kamar yang sejuk ber AC, rombongan, sehingga nyaman, ketemu kenalan lama, lalu diakhir retret ada rekreasinya ke pantai atau hal-hal yang “serba” mengenakkan, lalu saya menceritakan tentang pengalaman bagaimana tinggal dalam kamar sempit, silentium sepanjang hari, harus menahtur jadual sendiri, pembimbing yang seorang imam pertapa, mengikuti peribadatan komunitas dimana rutin 7 kali dalam sehari, menu makan sangat biasa, melayani sendiri pokoknya self service. Biasa dan serba apa adanya…..
Saya belajar dari Sejarah hidupnya Santo Benediktus dimana terlihat jelas kepribadian Benediktus sebagai seorang pemimpin biara yang ramah tamah, bijaksana dan penuh pengertian. Sikapnya sangat moderat baik dalam hal doa, kerja, pewartaan, makanan, tidur, dan lain- lainnya.
Masuk dalam permenungan : Iya ya, bukankah peletak dasar kongregasi kita adalah seorang imam pertapa ( Pastor Willem Hellemons, O.Cist), semangat apa yang bisa saya timba !
Pilihan bebas itu yang senantiasa saya dengungkan dalam hati ini, tidak ada yang meminta dan tidak ada yang menunggu tetapi saya berniat dan saya mau seperti itu. Kalau lebih jauh saya rasakan ada sesuatu yang menyentuh dalam hati ini yakni kesenyapan dan ritme yang mengajak untuk setia. Secara fisik delapan hari melakukan hal yang sama baik ritme harian, acara, suasana serta, menu jasmani yang tidak jauh berbeda, pun mengalami kebosanana namun menilik apa yang dilakukan oleh para rahib yang bukan hanya 8 hari bahkan ada yang puluhan tahun melakukan hal serupa ditempat yang sama sungguh terbayang rasa osan yang besar. Namun toh mereka TETAP bisa. Sungguh hal yang luar biasa berangkat dari pilihan bebas.
Keunggulan (bc : kelebihan) dari membangun kesetiaan antara lain kesadaran diri bahwa saya mau melakukan dengan kesungguhan. Kesetiaan bagi religius saya kira menjadi pegangan adlam melangkahkan hidup ke depan disamping. Jika setia melakukan hal-hal sederhana kedepan bisa diandalkan melakukan hal-hal yang lebih besar. Didalam Dekrit Tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius dinyatakan bahwa Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius yakni para anggota tarekat di mana pun juga hendaknya mengingat, bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (lih. Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia hidup bagi Allah semata-mata. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Dan itu merupakan suatu penyucian istimewa.
Saya berpikir bahwa kesadaran akan pilihan bebas ini tertanam dalam hati dan berdampak pada sikap mau mengambil bentuk askesis dalam hidup. Kemauan untuk mau berjerih lelah, mau merasakan bagaimana tradisi yang biasa menjadi luar bisa nilainya. Saya mengandaikan bahwa ibarat orang makan biasanya dengan tangan kanan, bersendok, memakai piring kemudian mencoba mengalami yang tidak biasa dengan daun pisang, memakai tangan, atau mencoba dengan tangan kiri. Namun yang penting dari itu semua adalah kesadaran dari dalam diri, bahwa saya mau mengalami hal itu.