2 Tahun Lumpur Lapindo: Dua Tahun Rakyat Diabaikan
2 Tahun Lumpur Lapindo: Dua Tahun Rakyat Diabaikan
Jakarta, 27 Mei 2008 – Bencana luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sudah berlangsung dua tahun. Hingga kini, lumpur Lapindo terus menyembur. Selama itu pula hak rakyat ikut dikubur. Hingga Selasa (27/5), semburan lumpur sudah menggenangi 14 desa di tiga kecamatan. Seluruh infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, dan rel kereta, alami kehancuran perlahan. Namun, sejauh ini belum ada upaya konstruktif dilakukan untuk menyumbat sumber masalahnya. Padahal, tragedi kemanusiaan ini mengakibatkan semakin banyak warga yang tergusur dan menanggung kerugian moril dan materiil. “Luberan lumpur Lapindo telah menjebak banyak pihak. Tak hanya menyengsarakan warga korban, semburan lumpur juga menjerat anggaran negara. Padahal, telah jelas tercantum dalam amar putusan majelis hakim Nomor 384/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 November 2007 bahwa, ’semburan lumpur akibat kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan Lapindo karena belum terpasang casing atau pelindung secara keseluruhan,’” tegas Ivan Valentina Ageung, Manajer Litigasi WALHI. Seperti diketahui, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diputus kalah di tingkat pengadilan negeri. WALHI menggugat Lapindo mengenai perbuatan yang membahayakan lingkungan, sedangkan gugatan YLBHI menyangkut pelanggaran hak asasi manusia. “WALHI akan terus memburu penjahat lingkungan sesuai prosedur hukum. Meski dinyatakan kalah di tingkat pengadilan negeri, upaya banding telah ditempuh WALHI, yakni dengan didaftarkannya upaya banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2008 lalu,“ seru Ivan. Ketidakpastian hukum kasus lumpur Lapindo memperjelas kelemahan pemerintahan SBY. Di bawah ketiak korporasi, keduanya tak bisa berbuat banyak. Bung Hatta mengatakan, “lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.” Ini pula yang dialami oleh warga korban lumpur Lapindo di desa-desa Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Kini, luapan itu menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat tinggal, sawah, dan pekerjaan, serta mengalami stres, ketakutan, dan kekerasan. Budi (33), salah seorang korban yang tinggal di tepi Jalan Tol Porong-Gempol mengurai kejengkelannya, “Ada permainan politik, dan yang pasti pemerintah belum berpihak kepada rakyat. Namun, kami tak akan menyerah”. Setali tiga uang, Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI juga menegaskan, “negara dan Lapindo belum berbuat maksimal untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan hancurnya kehidupan yang dialami warga korban. Rakyat menilai, negara justru tunduk di bawah kaki Lapindo”.Sikap WALHISejak Mei 2006 silam, WALHI bersikap bahwa PT Lapindo Brantas harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kejahatan kemanusiaan dan lingkungan yang terjadi di Porong, akibat kelalaian aktivitas pengeboran di Sumur Banjar Panji I, Porong, Sidoarjo. “Sebelum kondisi semakin buruk, sehingga tidak dapat dikendalikan sama sekali, pemerintah harus mendorong Lapindo untuk segera menutup pusat semburan lumpur dan menuntaskan tanggung jawabnya terhadap korban,” ujar Ivan. Pada Mei 2008 ini, PT Lapindo Brantas mengucurkan 80% dana sisa kepada beberapa korban semburan lumpur. “Hal lain yang harus dilakukan Lapindo adalah menyepakati mekanisme lain sebagai wujud tanggung jawabnya kepada korban semburan lumpur Lapindo yang berada di Pasar Baru Porong, Sidoarjo; dan warga korban sekitar yang berada di luar peta terdampak,” tukas Berry. Seperti diketahui, model penanganan yang dilakukan saat ini sebatas menunda peluasan luberan. Hal ini akan berdampak pada makin luasnya penghancuran daya dukung Kali Porong hingga ke Selat Madura, bahkan mengancam keselamatan masyarakat di sekitarnya. Luberan lumpur itu apabila dibiarkan akan memperburuk kondisi ekologi wilayah tersebut dan ekonomi masyarakatnya, terutama yang tinggal di desa-desa sepanjang Kali Porong. Kini, kondisi kawasan itu semakin membahayakan. Sedikitnya 15 tanggul penahan lumpur jebol dan menggenangi kawasan sekitarnya. Hingga pertengahan Mei ini, ada sekitar 90 semburan lumpur baru di sekitar rumah warga—semburan ini mengandung nitrogen dioksida (NO2) yang mudah terbakar dan hidrokarbon (HC) yang beracun.Di Siring Barat, misalnya, ditemukan hidrokarbon yang kandungannya lebih dari 266 kali ambang baku yang diperbolehkan. Gas itu tergolong berbahaya, bersifat karsinogenik—dapat menyebabkan kanker. Jika tidak segera dievakuasi, dampaknya terasa panjang. Akhirnya, WALHI meminta pemerintah segera mendesak Lapindo Brantas Inc menghentikan semburan lumpur dengan pelbagai metode yang diusulkan banyak ahli pertambangan. Dari segi teknologi, banyak orang Indonesia yang mempunyai keahlian menutup semburan. Jika tidak ditangani segera, kondisi ini dapat menenggelamkan wibawa negara.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:Ivan Valentine Agung Manajer Pengembangan Hukum dan Litigasi WALHI
Email : Valentine
Tanggal Buat: 28 May 2008 Tanggal Update: 28 May 2008
19 June, 2008
Makalah Hijau
AIR BERSIH SUMBER DAYA YANG RAWAN
Oleh Richard Middleton
Oleh Richard Middleton
Air merupakan unsur utama bagi hidup kita di planet ini. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam bidang kehidupan ekonomi modern kita, air juga merupakan hal utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.
Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.
Sumber-sumber air semakin dicemari oleh limbah industri yang tidak diolah atau tercemar karena penggunaanya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Kalau kita tidak mengadakan perubahan radikal dalam cara kita memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan negara.
Banyak orang memang memahami masalah-masalah pencemaran dan lingkungan yang biasanya merupakan akibat perindustrian, tetapi tetap saja tidak menyadari implikasi penting yang dapat terjadi. Sebagian besar penduduk bumi berada di negara-negara berkembang; kalau orang-orang ini harus mendapatkan sumber air yang layak, dan kalau mereka menginginkan ekonomi mereka berkembang dan berindustrialisasi, maka masalah-masalah yang kini ada harus disembuhkan. Namun bagaimanapun masalah persediaan air tidak dapat ditangani secara terpisah dari masalah lain. Buangan air yang tak layak dapat mencemari sumber air, dan sering kali tak teratasi. Ketidaksempurnaan dalam layanan pokok sistem saluran hujan yang kurang baik, pembuangan limbah padat yang jelek juga dapat menyebabkan hidup orang sengsara. Oleh karena itu, meskipun makalah ini memusatkan diri terutama pada air dan sanitasi, dalam jangka panjang akan sangat penting memikirkannya dari segi pengintegrasian layanan-layanan lingkungan ke dalam suatu paket pengelolaan air, sanitasi, saluran, dan limbah padat yang komprehensif.
Ketersediaan dan Kelangkaan Air
Air merupakan elemen yang paling melimpah di atas Bumi, yang meliputi 70% permukaannya dan berjumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik. Apabila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terbentuk lapisan dengan kedalaman rata-rata 3 kilometer. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah.
Dalam satu tahun, rata-rata jumlah tersebut tersisa lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar yang dapat diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Bandingkan dengan jumlah penyedotan yang kini hanya ada sedikit di atas 3.000 kilometer kubik tiap tahun. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas kelihatannya cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Misalnya, lembah sungai Amazon memiliki sumber yang cukup tetapi mengekspor air dari sini ke tempat-tempat yang memerlukan adalah tidak ekonomis.
Selain itu, angka curah hujan sering sangat kurang dapat dipercaya, sehingga persediaan air yang nyata sering jauh di bawah angka rata-rata yang ditunjukkan. Pada musim penghujan, hujan sangat hebat, namun biasanya hanya terjadi beberapa bulan setiap tahun; bendungan dan tandon air yang mahal diperlukan untuk menyimpan air untuk bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir. Bahkan di kawasan-kawasan "basah" ini angka yang turun-naik dari tahun ke tahun dapat mengurangi persediaan air yang akan terasa secara nyata. Sedangkan di kawasan kering seperti Sahel di Afrika, masa kekeringan yang berkepanjangan dapat berakibat kegagalan panen, kematian ternak dan merajalelanya kesengsaraan dan kelaparan.
Pembagian dan pemanfaatan air selalu merupakan isu yang menyebabkan pertengkaran, dan sering juga emosi. Keributan masalah air bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas. Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh sembilan, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih. Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batas-batas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya.
Karena air yang dapat diperoleh dan bermutu bagus semakin langka, maka percekcokan dapat semakin memanas. Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang.
Lebih parah lagi, penduduk dunia yang kini berjumlah 5,3 miliar mungkin akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025. Beberapa ahli memperkirakan bahwa tingkat itu akan menjadi stabil pada angka 16 miliar orang. Apapun angka terakhirnya, yang jelas ialah bahwa tekanan yang sangat berat akan diderita oleh sumber-sumber bumi yang terbatas. Dan laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, sebagian besar angka pertumbuhan penduduk terpusat pada kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk secara menyeluruh di negara-negara berkembang kira-kira 2,1 persen setahun, tetapi di kawasan perkotaan lebih dari 3,5%. Daerah kumuh perkotaan atau hunian yang lebih padat di kota yang menyedot pemukim baru termiskin tumbuh dengan laju sekitar 7% setahun.
Hunian pinggiran yang lebih padat sering dibangun secara membahayakan di atas tanah yang tak dapat digunakan untuk apapun, seperti bukit-bukit terjal yang labil atau daerah-daerah rendah yang rawan banjir. Kawasan semacam itu tidak sesuai dengan perencanaan kota yang manapun, dipandang dari segi tata-letak ataupun kebakuan. Karena kawasan semacam itu dianggap sah secara hukum dan bersifat "darurat", pemerintah kota biasanya tidak cepat melengkapinya dengan prasarana seperti jalan, gedung sekolah, klinik kesehatan, pasokan air, dan sanitasi. Namun sebenarnya hunian semacam ini tak pelak akan menjadi pola bagi kota yang harus dilayani dengan prasarana modern; hal ini mempunyai implikasi-implikasi baik untuk pemecahan secara teknis maupun secara lembaga yang akan diperlukan sebagai syarat supaya segala layanan mencapai semua orang dan berkesinambungan.
Di sementara negara, masalah terbesar mengenai persediaan air berkembang bukan hanya dari masalah kelangkaan air dibanding dengan jumlah penduduk, melainkan dari kekeliruan menentukan kebijakan tentang air, dan baru menyadari masalah-masalah tersebut lama setelah akibat yang tak dikehendaki menjadi kenyataan. Jadi meskipun penambahan investasi dalam sektor ini diperlukan, penambahan itu perlu disertai dengan perubahan: Prioritas utama haruslah pada cara pemanfaatan paling bijak terhadap investasi besar yang telah ditanam dalam sektor ini setiap tahun.
(sumber : www.usembassyjakarta.org/)
Subscribe to:
Posts (Atom)