21 February, 2014

Berbagi Oleh-oleh



Merajut  Masa Depan (CSA) ditengah Gereja  Keuskupan    Ruteng 
Oleh : Suryadi CSA

 Usiaku kira-kira 14 tahun ketika itu. Suatu hari di bulan Mei Sekolah Menengah Pertama swasta Katolik  yang terkenal dengan disiplinnya  mewajibkan  kami semua  murid-muridnya  berziarah ke Goa Maria Sendang Sono. Mungkin waktu itu bisa dikatakan bukan jarak yang jauh, karena  bisa ditempuh dengan sepeda kayuh  bagi semua muridnya. (Red: SMP PL Kaliduren Moyudan  - Sendang sono ± 75 km). Untuk jaman sekarang pasti murid seusiaku waktu itu pasti mengatakan : Waduh bersepeda kayuh ? Jauuuuh!  mana kuat ? Medannya  juga bukan medan yang  rata, landai tetapi  melalui liku-liku jalan perbukitan. Kita tahu bagaimana jalur Kalibawang – Sendangsono? Pokoknya sesuai  dengan lagu Naik-naik ke puncak gunung. (Red. Naik naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat poho,  banyak pohon cemara .....)
Capai lelah mengiringi rasa lega itulah yang saya alami. Karena akhirnya.... toh sampai juga di tujuan akhir : Goa Maria Sendang sono dengan kekhasan jalan salibnya naik...naik.... dan naik menuju dimana terdapat Patung Bunda Maria Lourdes bertahta di sana. Dalam rasa capai itulah setelah menyelesaikan proses bersama menjalani jalan yang berlika-liku dan naik,  saya duduk untuk istirahat. Tempat yang teduh diketinggian, didalam bangunan terbuka, yang bisa memandang bebas ke alam di sekitarnya. Didepannya trap-trapan berlantai paving menghiasi seni arsitektur si pembuatnya. Menarik dan tidak akan pernah merasa bosan.  Di tempat dimana aku duduk memang disediakan pondok-pondok peristitahatan. Pandangan saya secara tiba-tiba berhenti. Penglihatan mata saya tertuju pada  seekor binatang merayap berkaki dan bertangan panjang. Ia... seekor laba-laba yang sedang bergerak naik turun, kanan kiri. Apa yang dilakukan ? pertanyaaan dalam  hatiku. Dan ternyata... binatang tu sedang menganyam sarangnya. Binatang berkaki panjang itu sedang merajut rumah. Dia membangun bukan dari semen dan batu, dia membangun dari lendir yang keluar dari tubuhnya. Batin saya : Luar biasa bisa-bisanya terbentuk sarang seperti itu. Wauwww suatu karya yang  luar biasa hebatnya, unik menarik, dan dahsyat. Muncul pertanyaan dalam hati :  Dari mana binatang itu mendapat ilmu merajut!
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan merajut adalah menyirat jaring-jaring. Dari kata rajut yang artinya jaring/jala/siratan benang)

Proses berjalan,  liku-liku jalan, capai – lelah, dan akhirnya  adalah mencapai cita-cita bersama sebagai tujuan akhir.  Setiap pribadi, setiap lembaga kapan dan dimanapun pasti memiliki tujuan akhir yang ingin dicapai dalam gerak langkahnya. Tidak berlebihan jika ini disebut : merajut masa depan.
Bruder – Bruder CSA merajut masa depan. Komunitas CSA Ruteng merajut masa depan. Gereja Keuskupan Ruteng merajut masa depan. Kita semua merajut masa depan, dengan berbagai aspek dan bidangnya. Sebagai bahan refleksi saya akan mensharekan (dan men-sari-kan) apa yang di rajut oleh Gereja Keuskupan Ruteng tahun 2013 sampai dengan tahun  2015 yang menyebut diri sebagai tahun SINODE KEUSKUPAN . Kenapa dan ada apa dengan tahun tersebut?.

SINODE KEUSKUPAN RUTENG

Tahun itu adalah tahun Sinode III Keuskupan Ruteng. Proses berjalannya sudah sejak kwartal pertama  tahun 2013. Langkah yang ditempuh adalah mengumpulkan data atau analisis data pendukung untuk proses Sinode. Panitia menempuhnya dengan Teori 3M, yakni Melihat, Menilai (Menimbang) dan Memutuskan.
Apa maksudnya? Dengan meropong bersama secara jernih situasi nyata umat diarahkan bisa menemukan masalah dominan dan isu strategis dalam kehidupan bersama. Dengan mempertimbangkan situasi aktual dalam cahaya iman kristiani menilainya dalam tuntunan Kitab Suci dan ajaran serta tradisi Gereja. Serta membuat rekomendasi dan kebijakan pastoral yang bisa menjawabi situasi kongkrit umat  melalui  inspirasi sabda Allah.

Apa itu Sinode ?
Mgr Hubertus Leteng Pr, dalam kotbah Ekaristi pelantikan panitia Sinode III  di gereja Katedral Ruteng mengungkapkan bahwa Sinode adalah sebuah perjalanan bersama (Efata masuk dalam kepanitiaan Sinode yakni anggota panitia bagian penyelenggara (OC). Senada dengan isi kotbah tersebut dalam puisinya yang digulirkan dalam Sesi Stressing Sinode tersebut  Rm. Edi Menori Pr (Asisten Urusan SC), mengatakan  bahwa kunci dari Sinode adalah Lonto- Leok (Red : berjalan  bersama untuk memecahkan persoalan yang dialami), Lebih lanjut ditekankan dalam puisi tersebut orangnya sama, Gerejanya sama, TETAPI persoalannya berbeda. Persoalannya sama, Gerejanya sama TETAPI,  orangnya berbeda. Jelas bahwa situasi dan konsisi serta persoalan  yang dialami Gereja masa kini mungkin bisa sama, tetapi juga berkembang, dan yang menghadapi mungkin juga sama tetapi bertambah banyak dan bertambah kompleks.

Dibawah ini adalah catatan kecil perjalanan Sinode III  sesi 1 yang diselenggarakan di Efata Ruteng tanggal 13 s/d 17 Januari 2014. Yang barang kali akan menjadi acuan melihat perjalanan CSA di Gereja Keuskupan Ruteng untuk waktu yang akan datang.

Persoalan dasar
Bagaimana reksa pastoral Gereja partikular Keuskupan Ruteng selama Ini ?

  1. Isu-isu pastoral aktual mana yang menantang perutusan Gereja partikular Keuskupan Ruteng?
  2.  Bagaimana Gereja partikular Keuskupan Ruteng semakin dapat mewujudkan Kerajaan Allah dalam konteks dunia kehidupan di Manggarai Raya  dewasa ini (yang berubah semakin cepat)?


Sinode adalah refleksi dan dialog tentang kehidupan Gereja. Tujuan akhirnya adalah menemukan gambaran yang obyektif tentang kehidupan pastoral gereja partikular selama ini, potret dinamika kehidupan umat yang kongkret sekarang ini dengan segala problemnya, suka-dukanya, kecemasan dan harapannya, serta reksa pastoral kontekstual transformatif yang berbasis iman demi terwujudnya gereja yang beriman solid, mandiri dan solider.
Sinode berarti jalan bersama. Berziarah bersama adalah satu ciri persekutuan umat Allah, yang diungkapkan dalam doa, ibadat, perayaan kudus. Dengan proses berbagi yang dinyatakan dalam Ekaristi Kudus, terbagun solidaritas kehidupan dimana ini menjadi tujuan akhir dari misi Yesus Kristus lahir ke dunia.  Orang manggarai mengatakan : lako cama-cama, lako neki ca, padir wa’i rentu sa’i, lonto-leok. Sangat menggembirakan dan membanggakan bahwa tradisi lokal dan kebijakan luhur nenek moyang sebenarnya sudah mempraktekkan proses duduk bersama, berjalan bersama. Itulah  asas dasar Sinode yakni lonto-leok (duduk bersama)
Pengertian lain yang bisa menjadi bahan refleksi kita bersama adalah perlunya mengaso (red. beristirahat) sejenak, dalam bahasa Manggarai di katakan wejang asi. Disana orang beristirahat untuk melepas lelah, sambil makan dan minum berbicara dengan teman seperjalanan. Disana orang menimba kekuatan baru untuk perjalanan selanjutnya. Reksa pastoral berhenti sejenak demi menimba kekuatan dari Allah dalam peziarahan bersama untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Maka kita semua perlu mengayunkan langkah bersama, merumuskan visi masa depan bersama, dan akhirnya bergerak bersama, demi tercapainya tujuan bersama.

Cermin diri  : Keluar dari Kemapanan Merajut masa depan
Tidak mudah yang namanya keluar dari kemapanan. Apalagi jika hal itu sudah meng-enak-kan dan menyenangkan. Tidaklah gampang keluar dari rutinitas. Terlebih lagi kalau keluar itu menuntut korban : korban waktu, tenaga dan uang apalagi sampai korban perasaan. Tidaklah enak keluar dari ritme pelayanan. Karena hal itu menantang dan menuntut jalan baru. Lebih enak menjadi seperti sang imam dan orang Lewi dalam Kisah Injil dimana melihat orang yang menderita karena di rampok, dilukai dan ditinggal di pinggir jalan  (Lukas 10:25-37), berjalan terus  dari Yeriko ke Yerusalem untuk memenuhi kewajiban agama dan menjalankan rutinitas ibadat dari pada menjadi seperti orang samaria yang baik hati yang ketika mendengar jeritan penderitaan berhenti dari perjalanannya lalu berbelok dari jalan dan rencananya. Akhirnya harus pergi ke pinggir jalan, untuk menjamah, menopang, menolong  si korban. Keluar dari diri, keluar dari rutinitas, dan masuk dalam situasi baru yang belum jelas apalagi yang sulit menuntut kerelaan dan kepekaan hati, membutuhkan kerja keras, membuat capai dan letih. Hal itu bahkan dapat membuat kerja kita tertatih-tatih, mejadi peot dan bahkan harus terluka.
Tapi hanya dengan begitulah kita menjadi Gereja Kristus, persekutuan para murid yang menapaki jalan kurban sang Guru. Meski sempoyongan dalam perjuangan ditengah dunia, kita diteguhkan, sebab kita yakin barang siapa berjalan bersama Kristus, Dia akan menuntun dan menopangnya dalam pelukan kerahiman yang Ilahi.
Selanjutnya bagaimana kita bisa keluar dari kemapanan diri sendiri dan terlibat secara utuh dan penuh dalam kehidupan manusia? Kerasulan apa yang bisa membawa kita terjun, melebur, menyatu dengan gereja umat Allah, dibutuhkan, bermanfaat dan berguna bagi pengembangan Kerajaan Allah?. Bagaimana menjadi Gereja “orang Samaria yang baik hati”, di mana  yang menjadi spirit dasar pelayanan bukanlah keterikatan pada rutinitas dan aturan tetapi bela rasa dengan mereka yang  membutuhkan.

Evaluasi layanan
Hasil penilaian DPP atas Elemen buah layanan Pastoral di Keuskupan Ruteng
Periode 2007 - 2012
No
Elemen Layanan
Penilaian
Sangat baik  - Baik
Penilaian
kurang baik  - tidak baik
1
Buah Layanan Liturgia
74,49%
25,51%
2
Buah Layanan Koinonia
39,21%
60,79%
3
Buah Layanan Diakonia Ekonomi, Sosial, Politik dan Ekologi
29,09%
70,91%
4
Buah Layanan Diakonia Pendidikan
40,4%
59,6%
5
Buah Layanan Kerygma
50,01%
49,99%
6
Buah Layanan Administrasi Kantor
83,87%
16,13%
7
Buah Layanan Keuangan
76,48%
23,52%

Total Buah Layanan Pastoral
56,02%
43,98
Sumber : tabel 1 data hasil penilaian DPP atas elemen buah layanan pastoral di Paroki periode 2007 – 2012 di Keuskupan Ruteng (buku materi SINODE III Keuskupan Ruteng sesi 1)

Data menyebutkan bahwa menjadi persoalan dasar Keuskupan Ruteng dewasa ini lebih menyorot pada pelayanan Diakonia yang meliputi  Ekonomi, Sosial, Politik dan Ekologi. Dari dasar prosentase penilaian baik hanya 29,09% artinya lebih dominan penilaian kurang baiknya. Ini realita yang terjadi ditengah masyarakat bahwa pengentasan kemiskinan perlu perjuangan yang tidak gampang. Upaya peningkatan ekonomi masyarakat sudah sejak lama diperjuangkan. Berbagai kerasulan berkaitan dengan  pengentasan kemiskinan tidak sedikit jumlahnya, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pusat, pemerintah daerah, LSM, Karya Misi.  Tempo waktu ada yang baru beberapa tahun sampai dengan yang sangat lama. Namun demikian hasil kuesioner ditengah masyarakat (umat paroki yang tersebar di 3 kabupaten) menyatakan prosentase penilaian baik lebih rendah  dibanding penilaian kurang baik.
Persoalan ekonomi kapan dan dimanapun menjadi persoalan mendasar (apalagi daerah Indonesia bagian Timur). Tujuan akhir dari langkah pengentasan kemiskinan adalah penungkatan ekonomi msyarakat menuju masyarakat yang sejahtera (hidup cukup).
Persoalan Sosial menjadi issu yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi, Kehidupan sosial baik bisa dipengaruhi oleh situasi ekonomi yang baik.
Persoalan politik bisa berdampak pada pemiskinan masyarakat. Orang berlomba-lomba mencapai tujuan meningkatkan ekonomi dengan jalur ini, dan tidak sedikit yang mengorbankan harta milik. Politik dimana pun adanya adalah persaingan, siapa kuat itulah yang menang. Maka dampak yang pasti terjadi bagi masyarakat  adalah  banyaknya harta milik yang dikorbankan. Demi pencapaian tujuan peningkatan ekonomi.
Ekologi di Keuskupan Ruteng  menjadi issu besar. Eksplorasi tambang menjadi salah satu penyebab konflik yang akhirnya masyarakatlah yang mengalami dampak langsung. Rusaknya sistem dan struktur tanah menyebabkan kesulitan air bersih. Muara yang terjadi adalah kemiskinan masyarakat.
 Bagaimana dengan realita ini ?

Refleksi

  1. CSA hadir minimal 20 tahun terakhir  berupaya membantu masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi. Kurun waktu  20 tahun tidak sedikit masyarakat (baca : orang muda) yang merasakan pelatihan di  PUSLAT PSE St. Aloisius Ruteng (Pengembangan Sosial Ekonomi). Harapan besar adalah memandirikan masyarakat dimana menjadi tujuan gereja lokal. Persoalan ekonomi sejak awal di tengarai dari minimnya daya juang,  lemahnya daya masyarakat yang enggan berusaha sendiri, berdaya guna sendiri meninggalkan ketergantungan kepada orang lain, dengan mencari nafkah dari ketrampilan yang dimilki. Visi jauh kedepan adalah ekonomi berkembang baik, kesejahteraan meningkat.
  2. Merajut benang  sebagaimana yang dilakukan oleh laba-laba cerdas adalah demi masa depan anak cucunya, untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan hidup. Rumah atau komunitas adalah hilirnya  dan masyarakat adalah muaranya.
  3. Lelah capai menjadi bagian serta proses yang tidak bisa di tinggalkan menuju tercapainya tujuan bersama. Melewati lika-liku hidup, diantara tebing dan jurang bisa menjadi pemicu semangat berkarya, sekaligus bisa menjadi pelemah semangat karena tidak mau keluar dari  kemapanan, enggan berbelok dan merubah jalur rutinitas. Bersediakah kita menjadi orang Samaria, atau tetap memilih menjadi orang Lewi  (bdk. Lukas 10:25-37)

 (Disarikan dari berbagai sumber materi Sindode dan pengalaman keikutsertaan  selama Sinode 13 – 17 Januari 2013 di Efata Ruteng)

Ruteng, 20 Januari 2014
Suryadi CSA

No comments: