Peran ”ABG” Mengubah Sampah Jadi Berkat
OlehWahyu WibisanaSRAGEN – Masalah persampahan Tanah Air memang tergolong sangat pelik. Banyak daerah di negeri ini yang masih kesulitan dalam mengelola sampah terutama sampah pasar yang volumenya sangat besar setiap hari.Jika kita asumsikan rata-rata sebuah pasar tradisional menyuplai sampah antara 2 ton hingga 5 ton per hari, maka bisa dipastikan dalam satu bulan sampah pasar yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) antara 60 hingga 150 ton. Dalam satu tahun, akan dihasilkan 720 ton hingga 1.800 ton sampah. Tadi itu hanya perhitungan satu pasar tradisional, bagaimana jika sebuah daerah memiliki lebih dari satu pasar seperti yang ada di daerah-daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Bisa dibayangkan berapa ribu ton sampah pasar yang akan dihasilkan.Maka jangan heran kalau kemudian persoalan sampah ini menjadi sebuah “bom waktu” yang siap meledak setiap saat. Kasus Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah dan TPA Bantar Gebang yang sempat memakan korban jiwa beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh nyata.Melihat kenyataan ini, pemerintah dan DPR merasa perlu membuat sebuah aturan baku mengenai persoalan pengelolaan sampah ini dalam sebuah undang-undang yang telah disahkan, Rabu (9/4) lalu. Dengan adanya aturan yang jelas ini, masing-masing pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan penutupan TPA yang menggunakan sistem pengelolaan terbuka dalam waktu satu tahun ke depan dan TPA yang menggunakan sistem pengelolaan tertutup dalam kurun waktu lima tahun ke depan.Namun sayangnya, aturan ini juga tampaknya belum akan menyelesaikan masalah persampahan Tanah Air. Ini karena undang-undang yang baru disahkan ini juga masih memerlukan sejumlah instrumen pendukung seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda). Jadi BerkatNamun, ketika sejumlah daerah tengah “berperang” menghadapi persoalan sampah, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah telah berhasil mengubah sampah-sampah pasar dan kotoran ternak mereka menjadi sesuatu yang berguna. “Masyarakat Sragen kini telah berhasil menjadikan sampah sebagai sebuah berkat, bukan lagi menjadi masalah seperti yang dialami sejumlah daerah di Indonesia,” tutur Bupati Sragen, Untung Wiyono, kepada sejumlah wartawan yang ikut dalam rombongan Yayasan Danamon Peduli baru-baru ini.Untung mengatakan, kini masyarakat Sragen telah berhasil mengolah sampah pasar dan kotoran ternak mereka menjadi kompos, pupuk organik cair, bahkan biogas. Ini sudah berhasil dikembangkan sejak beberapa tahun terakhir. Dengan melakukan pengolahan sampah menjadi kompos dan barang turunannya itu kini daerah Sragen telah bisa menikmati manfaatnya. “Salah satunya, kami dapat melakukan penghematan pupuk kimia. Kalau biasanya kami memerlukan 1 ton pupuk kimia untuk 1 hektare lahan persawahan, kini kami cukup menggunakan 400 kg saja. Sisanya digunakan pupuk organik yang diproduksi sendiri dari sampah pasar dengan biaya produksi kurang dari Rp 400 per kilogram,” tambahnya. Tapi, langkah ini tak hanya berhenti sampai di sana. Pembuatan pupuk organik ini terus dikembangkan di Kabupaten Sragen. Salah satunya dengan cara bekerja sama dengan Yayasan Danamon Peduli untuk membangun unit pengelolaan pupuk organik berbasis sampah pasar di Pasar Bunder. Direktur Eksekutif Danamon Peduli, Risa Bhinekawati, mengatakan pengelolaan pupuk organik dari sampah Pasar Bunder ini akan memiliki kapasitas pengolahan sampah sebanyak 5 ton per hari. Dari 5 ton sampah tersebut akan dihasilkan 2 ton pupuk kompos organik yang berada di atas Standar Nasional Indonesia (SNI). “Menurut rencana program ini juga akan kami lanjutkan ke daerah-daerah lain yang Pemdanya punya komitmen untuk mengatasi masalah persampahan mereka,” tutur Risa.Direktur Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Dr Darmono Taniwiryo, menyatakan jika target 5 ton sampah ini bisa dipenuhi setiap hari, selain pupuk kompos organik, unit pengelolaan pupuk ini juga akan menghasilkan 1.200 liter air lindi (cairan hasil pemerasan sampah organik). “Air lindi ini kemudian dapat diolah lagi menjadi sumber biogas. Sebagai perbandingan setiap 6.000 liter lindi setelah diolah dapat menjadi 0,9 sampai 1,8 meter kubik biogas yang bisa digunakan oleh 20 keluarga,” papar Darmono. Sementara itu, pupuk kompos yang sudah ada juga akan dikembangkan lagi dalam bentuk-bentuk granul yang harganya juga jadi lebih tinggi. Apalagi pengelolaan sampah menjadi kompos ini cukup simpel. Pertama-tama sampah-sampah pasar yang telah dipisahkan dengan sampah lain dicacah kecil-kecil. Kemudian cacahan ini dipres untuk mengurangi kandungan kadar airnya. Barulah sampah-sampah tersebut difermentasi dan setelah 14 hari sampah tersebut matang dan siap digunakan.Tampaknya model kerja sama dengan formula “ABG” alias akademi, bisnis dan government yang diwakili BPBPI, Yayasan Danamon Peduli dan Pemkab Sragen ini cukup efektif dalam mengatasi sampah. Bahkan, formula ABG ini telah berhasil mengubah sampah jadi berkat. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
No comments:
Post a Comment