Pengolahan Sampah
Pengelolaan sampah mencakup juga sub system pemrosesan dan pengolahan sampah, yang perlu dikembangkan secara bertahap langsung sebagai bahan baku maupun sebagai sumber energi, sehingga tercipta keseimbangan dan keselarasan antar sub-sistem, baik dalam pengoperasian maupun pembiayaannya. Untuk memperoleh “economies of scale” dari sinkronisasi sub system yang lain, maka dalam perencanaan dan implementasinya, berbagai upaya terkait dengan upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pembiyaan dan operasionalnya harus menjadi prioritas utama.
Sebagaimana dibahas, pola pengelolaan persampahan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, hendaknya dikembangkan dengan memasukan pilihan pemrosesan dan pengolahan untuk menjadikan sampah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan, baik di tingkat kawasan mapun di TPA sebagaimana terlihat dalam gambar 8.1, sehingga sampah yang akan di urug ke dalam tanah di minimalkan.
Paradigma baru yang ditopang oleh sumber daya manusia, peran serta masyarakat, visi kewiraushaan, kemampuan manajemen operasional, modal investasi dan dipicu oleh perkembangan teknologi telah mengubah pola pandang banyak pihak terhadap sampah. Dengan melihat karakteristik dan komposisinya, sampah berpotensi memberikan nilai ekonomi, misalnya bila diolah menjadi bahan kompos dan bahan daur ulang. Namun potensi nilai ekonomi ini hendaknya harus dilihat secara proposional dan lebih mengedepankan prinsip agar system yang dipilih dapat berkesinambungan. Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organic. Sampah yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bias mencapai 70% dari total sampah, dan sekitar 28% adalah sampah non hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup professional, mulai dari sumber sampah sampai ke TPA. Sisanya sekitar 2% tergolong lain-lain seperti B3 yang perlu dikelola tersendiri. Jenis sampah dengan persentase organic yang tinggi sangat cocok diolah menjadi kompos, sumber gasbio dan sejenisnya. Sedang komponen anorganik mempunyai potensi sebagai bahan daur ulang yang juga cukup potensial seperti plastic, kertas, logam/kaleng, kaca, karet. Berdasarkan kenyataannya tersebut, akan lebih baik bila pengurangan jumlah sampah dilakukan melalui proses pengolahan sampah yang terpadu.
POLA pengelolaan sampah terpadu secara konseptual dapat digambarkan seperti skema pada gambar 8.2 berikut.
Pembangunan system persampahan yang lengkap dan dikelola secara terpadu, selain memerlukan modal investasi awal yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan manajemen operasional yang baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut dapat dijalin hubungan kerjasama antar daerah dan atau bermitra usaha dengan sector swasta yang potensial dan berpengalaman. Kerjasama kemitraan dapat mempercepat proses penyediaan sarana dan prasarana dengan cakupan pelayanan yang lebih luas dan peningkatan dalam mutu pelayanannya. Sistem pengelolaan yang dikembangkan harus sensitive dan akomodatif terhadap aspek komposisi dan karakteristik sampah dan kecenderungan perubahannya di masa mendatang. Sistem pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan pergeseran nilai sampah (waste shifting values) yang selama ini dianggap sebagai bahan buangan yang tidak bermanfaat, bergeser nilainya dengan bahan-bahan bernilai bila diolah menjadi kompos dan bahan daur ulang dan daur pakai.
Teknik-teknik pemrosesan dan pengolahan sampah yang secara luas diterapkan di lapangan, khususnya di negara industri antara lain adalah:
- Pemilahan sampah, baik secara manual maupun secara mekanis berdasarkan jenisnya.- Pemadatan sampah (baling)- Pemotongan sampah- Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa- Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bo- Pembakaran dalam Insenerator, dengan pilihan pemanfaatan enersi panas
Sekitar tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB memperkenalkan konsep Kawasan Industri Sampah (KIS) pada tingkat kawasan dengan sasaran meminimalkan sampah yang akan diangkut ke TPA sebanyak mungkin, dengan melibatkan swadaya masyarakat dalam daur-ulang sampah. Konsep sejenis sudah dikembangkan di Jakarta yaitu Usaha Daur Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang dimulai sekitar tahun 1991. Seperti halnya Konsep KIS dari PPLH-ITB, maka konsep UDPK ini didasarkan atas community based development, yang merubah pendekatan pengelolaan sampah perkotaan dari fungsi pelayanan kepada fungsi produksi yang ekonomis dan menciptakan lapangan kerja sector informal. Namun dari 13 unit UDPK yang dikembangkan, menurut informasi tidak lebih dari 3 unit pada tahun 2001 yang masih beroperasi. Konsep ini tidak berjalan lancer karena membutuhkan kesiapan semua pihak untuk merubah cara fakir dan cara pandang dalam penanganan sampah, termasuk cara pandang pengelola kota setempat. Konsep sejenis juga diperkenalkan oleh BPPT dengan zero-waste nya (9). Secara teknis keberhasilan cara-cara tersebut banyak tergantung pada bagaimana memilah dan memisahkan sampah sedini mungkin, yaitu dimulai dari wadah penghasil sampah di rumah yang telah dipisah, gerobah sampah yang secara terpisah mengangkut sampah sejenis serta truk sampah yang akan mengangkut sampah sejenis atau bergantian menuju tempat pemrosesan. Tanpa upaya ini tersebut dinilai kurang begitu efisien.
Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah sejenis ini akan cepat membusuk, atau tergradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di ala mini. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan atau biogasifikasi. Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperature udara yang relative tinggi, maka kecepatan mikroorganisme dalam “memakan” sampah yang bersifat hayati ini akan lebih cepat pula. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organic (hayati) yang mudah membusuk. Kompos dapat disebut berkualitas baik bila mempunyai karakteristik sebagai humus dan bebas dari bakteri pathogen serta tidak berbau yang tidak enak. Sampah yang telah membusuk di sebuah timbunan sampah misalnya di landfill sebetulnya adalah kompos anaerob yang dapat dimanfaatkan pada pasca operasi. Alasan utama kegagalan pengomposan selama ini adalah pemasaran (9).
Aktivitas daur-ulang sampah dapat dimulai dari rumah-rumah, misalnya penggunaan komposter individual. Cara ini diperkenalkan dan telah diuji coba oleh LitBang Pemukiman PU beberapa tahun yang lalu. Dengan volume container sekitar 60 Liter, ternyata sampah dapur khususnya sisa-sisa makanan, akan dapat ditahan di alat ini dapat menerima sampah dari sebuah keluarga selama lebih dari 6 Bulan sebelum penuh. Setelah penuh, yang dihasilkan adalah kompos yang perlu penanganan lebih lanjut. Samaph jugaa merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacaing. Khususnya untuk pakan cacing, jenis sampah yang cocok adalah sampah hayati, khususnya sampah yang berasal dari dapur. Dalam skala kotaa, dimana system pengumpulan dan pengangkutan sampah masih tercampur, maka upya ini sulit untuk tercapai baik. Dari upaya ini akan dihasilkan vermin-kompos yang berasal dari casting-nya serta bioamassa cacing yang kaya akan protein untuk makanan ternakserta kegunaan lainnya(9).
Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara:a. Menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobic pada reactor (digestor)b. Menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfillc. Menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi.
Sumber:DIKTAT KULIAH TL-3150/ITB
Oleh:Prof. Enri DamanhuriDR. TRI Padmi
(tulisan ini murni hasil copy dari :http://tsabitah.wordpress.com/)
No comments:
Post a Comment